Relasi Risma-Megawati dan Pola PDIP Pilih Cawalkot Surabaya

Bos BCA Sebut Pembobolan Rekening Seperti Maling Jemuran
September 4, 2020
Perusahaan Rokok Elektrik Juul Labs PHK Besar-besaran
September 4, 2020

Surabaya, radarbahtera.com  — Pertimbangan politik Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dinilai menjadi kunci PDI Perjuangan dalam menentukan calonnya di Pilwalkot Surabaya 2020. Kader atau bukan tak jadi faktor penentu.

Pandangan itu disampaikan pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam. Menurutnya, Risma ikut menentukan terpilihnya Eri Cahyadi, seorang pegawai negeri sipil, yang kini mendapat mandat dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi calon wali kota Surabaya berikutnya.

“Yang menentukan bukan kader atau non-kader tapi siapakah yang pertimbangannya diterima Bu Mega. Yang paling kuat adalah faksi dan pengaruh Bu Risma,” kata Surokim, Jumat (4/9).

Surokim menilai Risma memiliki kedekatan khusus dengan orang nomor satu di partai berlambang banteng tersebut. Ia bahkan menyebut Risma adalah ‘perwujudan’ Megawati di Surabaya.

“Sesungguhnya, kian menunjukkan pada kita bahwa Risma adalah Bu Mega-nya Surabaya,” ucapnya.

Kedekatan keduanya tercermin dari bagaimana cara Risma memimpin Kota Surabaya selama dua periode terakhir. Megawati secara intens memberikan arahan terhadap wali kota perempuan pertama di Surabaya itu. Hal itu pun dianggap selalu berhasil diwujudkan oleh Risma.

Misalnya, saat Megawati meminta Risma memperhatikan dan memberi makanan kepada lansia. Lalu, soal penataan taman dan rekomendasi bunga-bunga dari Megawati. Hal itu membuat Risma dan Megawati saling bertaut.

“Bu Risma berhasil menautkan program Bu Mega di Surabaya, seperti memberikan program memberi makanan lansia, lalu UKM tahu tempe, soal taman-taman. Itu memperkuatnya,” ujar dia.

Tangan Kanan Risma

Eri Cahyadi merupakan tokoh birokrat yang dikenal dekat dengan Risma. Belakangan, ia menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya selama dua tahun terakhir.

Surokim menyebut Eri merupakan sosok yang memiliki peran penting dalam mendesain dan membangun Kota Surabaya. Ia dinilai mampu mewujudkan segala komando Risma untuk perkembangan Kota Surabaya.

“Dia tangan kanan Bu Risma untuk mendesain pembangunan Kota Surabaya, dia berhasil merealisasikan kehendak Bu Risma,” kata Surokim.

Bukan sesuatu yang tak mungkin, kata Surokim, bahwa Risma yang membawa nama Eri sampai ke telinga Megawati.

Apalagi selama dua tahun terakhir, menurutnya, Risma seakan memberi panggung lebar untuk Eri dalam berbagai kesempatan. Salah satunya terlihat pada baliho bergambar wajah keduanya yang bertebaran di sejumlah sudut Kota Pahlawan.

Meski begitu, ujarnya, Eri tetap harus berjuang dalam kontestasi Pilkada Surabaya kali ini. Kedekatannya dengan Risma tak otomatis bisa jadi modal mendulang suara konstituen. Nama besar Risma justru bisa menjadi tantangan sekaligus beban bagi Eri.

“Orang akan menunggu apakah Eri bisa keluar dari bayang-bayang Bu Risma. Eri harus bisa menjawab ekspektasi publik, bahwa dia tidak hanya suksesor, tapi dia punya kapasitas setara atau mungkin lebih progresif,” ucapnya.

Titik Lemah Whisnu

Eri Cahyadi menyingkirkan sejumlah nama kuat lainnya dalam kontestasi calon wali kota Surabaya di internal PDIP. Salah satunya, Wakil Wali Kota Surabaya dua periode, Whisnu Sakti Buana.

Whisnu merupakan salah satu tokoh yang digadang-gadang bakal menjadi jagoan PDIP di Pilkada Surabaya. Namanya juga beberapa kali disebut Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dalam sejumlah kesempatan.

Mayoritas akar rumput PDIP di Surabaya bahkan telah mendeklarasikan Whisnu sebagai calon pemimpin Surabaya sejak jauh-jauh hari. Saat rekomendasi itu tak jatuh ditangannya, sejumlah kader PDIP di Surabaya mengamuk dan kecewa.

“Whisnu itu pendukung kulturalnya cukup banyak, menjabat dua periode Ketua DPC PDIP Surabaya itu bukan investasi yang pendek, wajar kalau menimbulkan kekecewaan,” katanya.

Namun, Surokim yang juga Peneliti Surabaya Survey Center (SSC) ini lagi-lagi menyebut, faktor relasi khusus Risma dengan Megawati-lah, yang menjadi penghalang besar bagi Whisnu.

“Faktor Bu Risma berhasil di mata Bu Megawati, menjadikan faktor Mas Whisnu sebagai wakil wali kota itu tidak muncul, semua itu menjadi klaim keberhasilan Risma, padahal Whisnu ada di dalam situ,” tuturnya.

Menurutnya, kedekatan Risma dengan Megawati bahkan mampu melebihi kekuatan ikatan sejarah ayah Whisnu, Soetjipto dengan Megawati.

Mendiang Soetjipto merupakan kader senior PDIP yang dikenal dekat dengan Mega. Semasa hidup, ia pernah dipercaya menjadi Sekjen hingga Ketua DPP PDIP. Ia juga sempat menjabat Wakil Ketua MPR RI dan anggota DPR RI dari Fraksi PDIP.

“Itulah membuat Whisnu agak ter-barrier relasi khususnya dengan Bu Mega padahal kita semua tahu Whisnu putra Pak Tjip yang punya ikatan panjang sejarah dengan Bu Mega,” ucapnya.

Tak hanya itu, relasi kuasa khusus Risma dan Megawati bahkan juga membuat para tokoh PDIP yang dikenal dekat dengan Whisnu, seperti Hasto Kristiyanto, Djarot Saiful Hidayat dan Puti Soekarno, sulit menembus kekuatan itu.

“Betapa sulitnya lingkar-lingkar Whisnu di Jakarta menembus Bu Mega. Mbak Puti, Pak Djarot, Pak Hasto itu punya ikatan yang dekat dengan Mas Whisnu karena faktor sejarah, tapi itu bisa kalah dengan relasi khusus Bu Risma, ini yang jarang diungkap,” katanya.

Pola Politik PDIP

Surokim mengatakan diusungnya Eri menunjukkan pola politik yang selama ini dilakukan PDIP. Yakni, dengan mengusung tokoh birokrat atau tokoh non-partai sebagai calon wali kota.

Pada Pilkada Surabaya 2010 lalu, Risma bukanlah kader PDIP. Ia merupakan birokrat yang pernah memimpin sejumlah dinas di Pemerintah Kota Surabaya. Ia dipasangkan dengan kader PDIP, Bambang Dwi Hartono, dan berhasil menang.

Kemenangan itu pun kembali berhasil diraih PDIP pada Pilkada Surabaya 2015. Saat itu Risma dicalonkan bersama wakilnya yang merupakan kader PDIP, Whisnu Sakti Buana.

“PDIP yang terus menerus menang, maka PDIP melihat pola yang selama ini dimainkan, pola non kader [dan] kader, terus sekarang lagi, bisa jadi itu menjadi pola,” ucapnya.

Menurutnya, diusungnya Eri menandakan PDIP tak mau Surabaya yang selama beberapa periode menjadi daerah basisnya, lepas ke partai lain.

“PDIP berhitung betul, bahwa PDIP menjadikan Surabaya sebagai basis keberhasilan partai dia, apakah dukungan arus bawah dan hasil kotanya, Surabaya adalah tolok ukur,” sebut dia.

PDIP, kata Surokim, juga menyadari bahwa pemilih di Surabaya memiliki berbagai karakteristik dan latar belakang yang berbeda. Maka akan sangat berisiko jika PDIP bersikukuh mengusung kadernya sendiri tanpa memperhitungkan tokoh birokrat.

Ceruk pemilih Surabaya yang sangat heterogen dan kompleks juga menjadi pertimbangan PDIP terkait geopolitik.

Lebih lanjut, Surokim menilai langkah Megawati mencalonkan kadernya yakni Armuji sebagai calon wakil wali kota Surabaya sudah tepat.

“Mas armuji adalah bagian dari cara untuk menguatkan mental kader PDIP Kota Surabaya. Bahwa kader itu juga masih diperhatikan,” ujar Surokim.

Sementara itu, Sekretaris DPC PDIP Surabaya Baktiono mengatakan keputusan diusungnya Eri-Armuji, dan tak dipilihnya Whisnu merupakan sepenuhnya wewenang Megawati.

“Kalau Pak Whisnu tidak dicalonkan, semua itu ada hitungan maupun kebijakan strategis yang ada di pusat, jadi kami enggak ikut campur masalah itu,” kata Baktiono kepada CNNIndonesia.com.

Dia mengatakan DPC hanya menerima 19 nama pendaftar. Nama-nama itu juga telah diserahkannya ke DPD PDIP Jatim untuk kemudian di sampaikan ke DPP PDIP.

Terkait gejolak sejumlah kader PDIP di Surabaya yang kecewa setelah Whisnu tak dicalonkan, Baktiono menganggap hal itu sesuatu yang biasa dan wajar terjadi di partai politik.

“PDIP sudah biasa melihat seperti itu, sama seperti kita lihat sepak bola, kalau tadi yang kemasukan gawangnya kan kaget, yah mirip-mirip itulah, tapi setelah itu sudah selesai, ya sudah, rangkulan semua, dan PDIP sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat,” ucapnya.

Source : www.cnnindonesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *